Panorama Metafisika
Oleh: Yosep Septiawan, O.Carm
Keheranan
Adalah Awal Sebuah Pencarian
Keheranan adalah
awal sebuah pencarian yang didorong oleh rasa ingin tahu akan sesuatu
hal. Aristoteles memulai filsafatnya dengan pernyataan, Every
man has by nature desire to know.
Pernyataan Aristoteles mau mengatakan bahwa setiap manusia dari
kodratnya mempunyai desakan untuk mengenal, mencari tahu1
dan mengejar pengetahuan yang mendalam. Dengan demikian, pencarian
akan sesuatu hal berlanjut terus menerus dalam hidup manusia.
Keheranan selalu melekat dalam diri manusia.
Keheranan untuk
mencari sesuatu hal harus masuk dalam kesadaran manusia2.
Manusia mempunyai dua kesadaran untuk memulai sebuah pencarian.
Kesadaran pertama adalah mengenal diri sendiri.3
Mengenai diri berarti seorang mengenal nama, ayah, ibu, saudara,
peristiwa-peristiwa hidup yang pernah dialami, dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan hidupnya. Mengenal diri dimaksudkan mengenal
diri dengan totalias. Seseorang harus mengenal dengan sungguh bahwa
ini adalah aku dan hidupku. Kesadaran kedua ialah kesadaran akan
kodrat realitas manusia. Kodrat realitas manusia ialah ingin mengenal
sesuatu dengan lebih mendalam, dan bertanya tentang segala sesuatu
yang ada disekitarnya. Manusia mencari tahu bagaimana segala sesuatu
itu ada. Dengan demikian, keheranan dalam diri manusia pada akhirnya
membawa pada pencarian apa itu “ada”.
Apa
Itu Berfilsafat “ADA” ?
Ilmu yang
mempelajari tentang “ada” adalah ontologi atau metafisika.
Penjelajahan mengenai “ada” biasa disebut dengan berfilsafat
“ada”. “ Ada” mau mengatakan tentang ada, tentang realitas
keseluruhan, tentang kenyataan yang ada. “Ada” bukan sebagaimana
dapat dilihat oleh mata4.
Filsafat “Ada” mau menggagas dasar-dasar realitas. Ia
merefleksikan hakekatnya. Ia menggagas secara keseluruhan segala yang
ada dari sudut pandang yang mendalam. “Ada” tidak berkaitan
dengan yang empirik atau matematis.
Terminologi “ada”
dalam bahasa Indonesia sulit untuk mencari padanannya. Biasanya
terminologi “ada” diterjemahkan “mengada”. Kata “mengada”
dimaksudkan kata kerja yang aktif. Kata Aktif ini cocok dengan arti
sebuah pencarian akan segala sesuatu. Dengan demikian, kata “mengada”
lebih mempunyai padanan dengan ada “being”.
Pencarian akan
sesuatu hal tidak berhenti pada batas-batas tertentu. Pencarian
tersebut selalu ada korelasi antara satu dengan yang lain. Maka
filsafat ada tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai hubungan atau
relasi dengan ilmu-ilmu lain.
Relasi metafisika
dengan Ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mencari
segala sesuatu berdasarkan hal fisik, yang dapat dilihat, dirasakan,
didengar, dihitung. Pencarian ilmu pengetahuan hanya sebatas dikenal
sejauh pencaindra bekerja. Maka, perspekstif yang digunakan tidak
menyeluruh. Dalam hal ini, metafisika memberikan sumbangan yang
berharga bagi ilmu pengetahuan. Perspektif metafisika adalah
perspektif yang menyeluruh tentang realitas yang melihat dari mana
segala sesuatu itu datang dan menyeberangi pengetahuan. Dengan
demikian ilmu pengetahuan dibantu dalam hal perspektif yang
menyeluruh.
Relasi metafisika
dengan teologi. Secara harafiah, teologi dapat dikata sebagai ilmu
tentang Allah. Ilmu yang berbicara tentang Allah, iman akan Allah dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan Allah. Dalam bahasa filsafat,
Allah dikenal sebagai Sang Pengada, Sang Segalanya. Terkait dengan
metafisika, metafisika memberikan sumbangan yang berharga bagi
teologi. Sumbangan yang diberikan Metafisika kepada teologi ialah
bahasa filsafat dan logika pengertian kepada teologi.
Relasi Metafisika
dengan kehidupan sehari-hari. Metafisika tidak digunakan praktis
dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, metafisika tidak jauh
dari kehidupan manusia. Penjelajahan metafisika menjangkau realitas
keseluruhan. Penjelajahan yang dimulai dari pengenalan diri sampai
pada pengenalan akan segala sesuatu. Penjelajahan itu datang karena
ada dorongan dalam diri manusia. Salah satu dorongan yang ada dalam
diri manusia adalah dorongan cinta. Dorongan cinta adalah dorongan
yang memberi, merawat dan menjaga keutuhan yang ada dalam realitas.
Tanpa ada cinta dalam pencarian, pencarian itu sia-sia belaka. Cinta
selalu ingin menjaga manusia. Oleh karena itu jika cinta dikaitkan
dengan tujuan hidup manusia maka diperlukan kesetiaan. Kesetiaan
adalah sebuah gambaran cinta itu sendiri. Ketika cinta tidak ada
dalam diri manusia, ia akan kehilangan segalanya.
Relasi metafisika
dengan ilmu-ilmu lain ini memberikan dampak positif dalam
perkembangannya. Rangkaian pemikiran yang terjadi dalam metafisika
mempengarui setiap bagian yang ada sehingga metafisika tidak bisa
dilepaskan dari ilmu-ilmu yang sudah ada. Dengan demikian relasi
metafisika dengan ilmu-ilmu lain menjadi penting dalam penjelajahan
realitas keseluruhan tersebut.
Penjelajahan tentang
realitas keseluruhan mempunyai aksentuasi atau penekanan dalam setiap
periode. Aksentuasi tersebut memberikan dampak dalam perkembangan
metafisika dari periode satu ke periode yang lain. Oleh karena itu,
aksentuasi atau penekanan ini perlu dikenal dengan baik agar alur
pikiran mengenai metafisika tidak terpecah-pecah mengingat bahwa
realitas keseluruhan adalah sebuah satu kesatuan yang saling
berkesinambungan.
Metafisika
menurut Beberapa Tokoh
Filosof
Alam
Penjelajahan tentang
realitas keseluruhan dimulai oleh para filosof alam. Dalam hal ini,
Thales telah memulai penjelajahan realitas keseluruhan dengan
menanyakan dari mana segala sesuatu berasal. Ia berpendapat bahwa
segala sesuatu berasal dari air. Air merupakan komponen utama alam.
Dengan demikian, apakah pemikiran Theles mengenai air adalah awal
dari segala sesuatu merupakan pemikiran metafisika? Jika melihat
penjelajahan realitas keseluruhan yang adalah melampaui hal fisik
dengan menggunakan perspektif yang menyeluruh dan tidak terbatas pada
hal yang dapat dilihat, maka pemikiran Thales belum bisa disebut
dengan pemikiran filosof metafisika. Yang dimaksudkan dalam
perspektif yang menyeluruh bukan hanya sebatas “bahan” atau
“materi” tetapi sebuah pencarian yang tidak terbatas. Metafisika
selalu mencari dan mencari tahu.
Heraklitos
Heraklitos
menyatakan bahwa realitas itu berubah atau menjadi. Pemikiran
Heraklitos ini sudah menyentuh apa yang disebut dengan realitas. Tapi
apa yang dimaksud dengan realitas yang berubah? Apa buktinya?
Realitas yang berubah adalah sebuah realitas yang dalam perubahannya
dapat dilihat dari pengalaman indrawi. Setiap manusia itu bertumbuh
dan berkembang. Jika melihat perubahan yang terjadi dalam tubuh
manusia, mulai dari bayi sampai sekarang tubuh manusia berubah. Dari
sisi pemikiran, mulai dari anak-anak sampai dewasa sudah berubah.
Heraklitos menggunakan simbol api untuk menyatakan bahwa realitas itu
dapat berubah. Ia menganggap api sebagai substansi dasar segala
sesuatu.5
Dalam bahasa lain dapat disebut dengan panta
rei.
Parmenides
Pandangan Heraklitos
bertentangan dengan pandangan dari Parmenides. Parmenides menyatakan
bahwa realitas itu tetap atau tak sesuatu berubah.
6
Apa artinya? Bagaimana realitas bisa tetap sedangkan jika melihat
dalam kehidupan sehari-hari realitas terus berubah setiap waktu
seperti yang diutarakan oleh Heraklitos. Parmenindes memandang
realitas itu tetap karena realitas itu satu kesatuan. Realitas itu
satu. Parmenides menganggap indra bersifat menipu dan bahwa pelbagai
benda indrawi hanya ilusi. Satu-satunya pengada sejati adalah yang
tunggal, yang tidak terbatas dan tidak terbagi, yang tidak berubah.7
Realitas itu satu ketika realitas keseluruhan itu dilihat dengan
ratio atau akal budi. Permenindes adalah filosof pertama yang
memikirkan realitas tidak melulu dengan pengalaman indrawi. Ia
memulai pemikiran mengenai realitas dalam tataran akal budi atau
ratio. Ia tidak tunduk pada partikular “ada” dalam realitas
tetapi ia memandang satu kesatuan realitas dalam tataran akal budi
atau ratio.
Aristoteles
Aristoteles juga
menulis tentang metafisika dalam bukunya. Buku Aristoteles diberi
judul metafisika oleh Andronikos dari Rhode. Dia sendiri tidak
memberikan judul dalam bukunya. Bukunya berisikan prinsip-prinsip
pertama dan mendasar dari realitas sebagai apa yang berkaitan dengan
tema-tema esse,
ens, actus-potensia, substansi-aksidens, causalitas, forma-materia
dan seterusnya.8
Aristoteles dikenal sebagai pendiri dari ilmu ini karena ia telah
merumuskan dengan baik mengenai metafisika.
Menurut Aristoteles,
metafisika adalah ilmu yang mengeksplorasi ada dalam perspektif
kausalitasnya dan prinsip-prinsip paling dasariah. Prinsip yang
sering mendapat perhatian adalah tentang forma dan materi. Prinsip
forma dan materi ini akan dikembangkan lagi oleh Thomas Aquinas
dalam menjelaskan iman katolik. Pemahaman ini akan mudah dipahami
jika mendeskripsikan sebuah manusia patung dari pualam. Materi dari
patung adalah pualam dan forma dari patung itu adalah bentuk manusia.
Secara sederhana, pemikiran materi dan forma demikian. Berkat forma,
materi pualam itu dapat mengaktualisasikan dirinya dan melalui forma
tersebut sesuatu dapat dibedakan dari sesuatu yang lain misalnya ada
kendi dari bahan pualam. Forma adalah esensi dan substansi utama dari
sesuatu.
Konsep tentang forma
dan materi pada akhirnya membawa pernyataan baru. Jiwa adalah forma
dari tubuh. Dalam hal ini, forma bukan lagi bentuk seperti bentuk
manusia dengan materi pualam. Jiwalah yang menyebabkan tubuh menjadi
sesuatu, yang memiliki kesatuan dan tujuan, serta ciri-ciri yang
lazim. Tujuan mata adalah untuk melihat, namun mata tidak dapat
melihat jika dipisahkan dari tubuh. Sebenarnya, yang melihat adalah
jiwa.9
Pemikiran Aristoteles ini akan sangat berpengaruh nantinya dalam
pemikiran Gereja selanjutnya. Pemikiran Aristoteles ini akan dibawa
oleh Thomas Aquinas untuk menjelaskan iman katolik terkhusus dalam
perubahan substansi.
Thomas
Aquinas
Thomas Aquinas
adalah teolog dan filsuf dalam Gereja Katolik. Sebagai filsuf, ia
meneruskan pemikiran Aristoteles. Metafisika Aristoteles, ia gunakan
sebagai sarana untuk menjelaskan iman terkhusus dalam menjelaskan
perubahan substansi, roti menjadi tubuh Kristus. Perubahan roti
menjadi tubuh Kristus secara pengalaman indrawi tidak masuk akal.
Ketika melihat roti dalam perayaan Ekaristi dan imam mengatakan bahwa
ini adalah tubuh Kristus, pernyataan itu tidak masuk akal? Bagaimana
mengatakan tubuh Kristus yang jelas-jelas adalah roti? Bagaimana hal
tersebut dapat dijelaskan ?
Pertanyaan-pertanyaan
diatas adalah persoalan Thomas pada saat itu. Sebagai orang yang
meneruskan pemikiran Aristoteles, ia menggunakan pemikiran
pendahulunya terkait bahwa realitas mempunyai substansi. Substansi
adalah itu yang membedakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Penyelesaian Thomas tidak dalam taraf pemikiran indrawi tetapi dalam
taraf rasional. Ia tidak mau tunduk dalam sebuah partikular. Maka,
perubahan roti menjadi tubuh Kristus adalah perubahan substansi.
Artinya perubahan itu bukan dalam artian fisik melainkan perubahan
substansi.
Immanuel
Kant
Immanuel Kant adalah
filsuf yang menggetarkan pemikiran mengenai metafisika. Immanuel Kant
berpendapat bahwa akal budi dapat memproduksi pengetahuan. Dalam
struktur akal budi ada yang disebut dengan apriori.
Apriori
adalah sebuah pengetahuan yang sudah dimiliki sebelum pengalaman.
Jadi Apriori
itu mendahului pengalaman. Dengan demikian, melalui apriori
ini manusia dapat memproduksi pengetahuan tanpa melalui sebuah
pengalaman atau realitas secara keseluruhan. Dari beberapa pernyataan
ini dapat dikatakan bahwa realitas itu tidak menjadi penting lagi
dimata Kant karena dalam akal budi manusia bisa memproduksi
pengetahuan atau akal budi murni.
Kant membuat
distingsi antara akal budi murni dengan pengalaman. Distingsi ada
untuk menyatakan bahwa akal budi murni itu tidak bercampur dengan
pengalaman. Ketika seseorang melihat sampah plastik maka dalam akal
budi manusia memasukkan hal tersebut dalam kategori-kategori.
Kategori itu berupa ekonomi, konsumsi dan lain-lain. Misalnya, ketika
orang melihat sampah plastik maka ia memasukannya dalam kategori
ekonomis yakni untuk didaur ulang. Distingsi antara akal budi murni
dengan pengalaman membuat metafisika menjadi krisis.
Kant sungguh sungguh
tidak menerima segala sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata.
Oleh karena itu ia mempersoalkan bagaimana melihat Tuhan secara
fisik? Bagaimana percaya sesuatu hal yang tidak pernah dilihat ?
pertanyaan ini merupakan persoalan besar dalam metafisika dan
teologi. Ia berpendapat bahwa pengetahuan yang benar berasal dari
pengalaman. Maka Tuhan tidak masuk dalam kategori apapun.
Ontologi
Istilah Ontologi
berasal dari Wolf pada abad 17. Istilah ini muncul ketika
penjelajahan metafisika dijadikan sebagai ilmu tentang “ada”.
Ontologi dan metafisika adalah dua hal yang sama yang membahas
menganai “ada”. Leibniz memperkenalkan metafisika dalam khazanah
“Modane”. Ontologi lantas menjadi monadologi. Jaspers
melukiskannya dengan “chiffer-chiffer”.
Proposisi dasar
metafisika ontologi ialah pertama, harus diandaikan ada itu yang
menentukan secara perlu dan mendasar dari segala apa yang ada dan
tidak pernah bisa apa yang ada tidak memilikinya. Kedua, itu yang
menentukan tersebut ada dan harus dipikirkan selalu ada juga dalam
bagian-bagian dari apa yang ada tersebut. Ketiga, jika ada ilmu
pengetahuan yang menggarap mengenai bagian-bagian tersebut, harus
pula diandaikan ada ilmu yang bertugas merefleksikan itu yang
menentukan secara perlu dan mendasar dari segala yang ada, jadi harus
diakui ada ilmu yang menggarapnya dan itu ontologi.10
Heidegger
Ranah Metafisika
Haidegger berbeda dengan pemikir sebelumnya. Metafisika Heidegger
dibawa dalam ranah manusia. Manusia dijadikan objek pemikiran dalam
metafisika. Konsep yang diusung adalah sudah dan belum eksistensi
dalam batas akhir manusia.11
Konsep yang dimaksud adalah situasi pinggir yang menandakan
temporalitas atau kesementaraan yang merujuk pada keseluruhan manusia
yang sementara.
Situasi pinggir
dalam metafisika Heidegger merujuk pada kematian manusia. Kematian
manusia menurut kebanyakan orang adalah akhir hidup manusia. Ketika
ada kematian menjemput, yang ada hanyalah kesedihan, perpisahan dan
tidak akan berjumpa lagi. Perasaan manusia seperti itu pasti dan
muncul ketika berhadapan dengan kematian terkhusus kematian orang
yang paling disayangi. Metafisika Heidegger tidak berhenti pada
perasaan manusia pada umumnya. Metafisika Heidegger ingin mengurai
batas-batas peziarahan atau temporalitas manusia.
Postmodern
Masa Postmodern
adalah masa orang percaya akan keberadaan Tuhan. Orang mempercayai
keberadaan Tuhan begitu saja tanpa mempersoalkan, apakah Tuhan itu
ada ? jika Tuhan itu ada dimana buktinya? Dimana Tuhan ketika
orang-orang yang tidak bersalah mati begitu saja di Suriah? Dimana
buktinya Tuhan itu ada? Konsep mengenai Tuhan menjadi persoalan
tersendiri dalam postmodern.
Dalam postmodern,
Tuhan itu ada dalam ketersembunyiannya. Apa artinya Tuhan dalam
ketersembunyiannya ? Sembunyi artinya tidak kelihatan tetapi bukan
berarti tidak ada. Sembunyi artinya tidak hadir tetapi bukan berarti
tidak ada. Tuhan ada dalam ketersembunyiannya. Ketersembunyian Tuhan
membuat orang yang percaya kepadaNya terus bertanya tentang Dia.
Siapakah Dia ? Siapa namanya? Dimana tempat tinggal ? Mengapa Ia
harus berada dalam ketersembunyian ? Orang ingin mengenal dan
mengetahui dengan lebih mendalam tentang Dia.
Ketersembunyian
Tuhan ini menumbuhkan eksplorasi dalam memahami realitas secara
keseluruhan. Eksplorasi tersebut dituangkan dalam bentuk pertanyaan.
Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Dalam hal ini, jawaban
atas pertanyaan tentang Tuhan bukanlah sebuah kepastian, seperti
siapakah nama Profesor Kitab Suci Perjanjian Lama STFT ? Rm. Bertold
A. Pariera, O.Carm, bukan hal seperti ini. Jawaban yang diberikan
mengenai Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri. Jawaban itu adalah
konsepsi yang dibuat oleh manusia mengenai Tuhan. Jawaban yang sering
didengar adalah Tuhan Maharahim, Mahakuasa, Mahakasih dan Maha
Pemurah. Jawaban itu bukanlah Tuhan sendiri. Dengan demikian,
ketersembunyian Tuhan menimbulkan eksplorasi dalam hidup manusia.
dari
Keheranan sampai Mengada
Keheranan adalah
kunci untuk memahami realitas keseluruhan. Realitas keseluruhan tanpa
keheranan tidak ada artinya dalam hidup manusia. Manusia tanpa
keheranan akan bersikap biasa saja dan mungkin akan mencampakkan apa
yang ada disekitarnya atau bahkan dirinya sendiri. Padahal
keseluruhan hidup manusia tidak bisa dipisahkan dengan realitas
keseluruhan ini. Keheranan dalam hidup manusia membawa manusia pada
sebuah kepenuhan.
Keheranan membawa
seseorang pada sebuah pertanyaan. Orang bertanya tentang dirinya dan
kehidupannya. Orang bertanya bagaimana segala sesuatu ini dapat
terjadi ? Mengapa harus demikian ? Mengapa hal ini harus ada? Apa itu
“ada” ? Keheranan dalam diri manusia terus membawanya pada
pertanyaan baru yang terus berlanjut. Aristoteles pernah menyatakan
bahwa kondrat manusia adalah mengenal, mengetahui sesuatu dengan
lebih dalam. Mulai dari keherananlah semua itu terjadi.
Pertanyaan yang
terbesit sekarang adalah dari mana keheranan itu berasal. Manusia
adalah mahkluk yang tidak hidup seorang diri. Manusia hidup bersama
dengan yang lain. Kebersamaan manusia ini menciptakan relasi dengan
yang lain. Berangkat dari relasi ini keheranan manusia ada. Keheranan
sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Berkat relasi dengan yang
lain ini keheranan manusia muncul dalam bentuk bertanya. Keheranan
tidak bisa dipisahkan dengan relasi. Keheranan ada karena ada yang
lain. Dengan demikian, dari keheranan sampai mengada adalah sebuah
perjalanan manusia untuk mengenal, mengerti dan mendalami yang lain,
yang berada disekitar manusia dan eksistensi manusia itu sendiri.
Perjalanan ini adalah bagian dari hidup manusia.
Daftar
Pustaka
Riyanto,
Armada. Menjadi
Mencintai,
Yogyakarta: Kanisius. 2013
.
Diktat
Kuliah Metafisika,
Malang: Widya Sasana. 2013
Russell,
Bertrand. Sejarah
Filsafat Barat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002
1
Armada Riyanto, Menjadi
Mencintai,
Yogyakarta: Kanisius. 2013. hlm. 41
2
Armada Riyanto, Diktat
Kuliah Metafisika,
Malang: Widya Sasana. 2013. hlm. 1
3
Ibid.,hlm.
1
4
Ibid.,hlm.
4
5
Bertrand Russell, Sejarah
Filsafat Barat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hlm, 55.
6
Ibid.,hlm.
65
7
Ibid.,
hlm. 66
8
Armada Riyanto, Diktat
Kuliah Metafisika,
Malang: Widya Sasana. 2013. hlm. 11
9
Bertrand
Russell,(2002)
op.cit., hlm 224
10
Armada Riyanto,(2013)
op.cit., hlm. 24-25
11
Armada Riyanto, Menjadi
Mencintai,
Yogyakarta:Kanisius. 2013. hlm. 238
Komentar
Posting Komentar