MENGUAK KEBENARAN BARU
Oleh:
Yosep Septiawan, O.Carm
Kata
Pengantar
Saat
ini, Jakarta mempunyai seorang pemimpin yang handal. Seorang pemimpin
yang tidak melulu mengikuti sistem. Ia mempunyai pertimbangan sendiri
ketika hendak melangkah. Ia menyadari bahwa sistem yang kini dipakai
bukanlah sistem yang baik. Oleh karena itu, ia keluar dari sistem
yang ada. Tentunya ia mempunyai pendapat yang patut dipertanggung
jawabkan untuk keluar dari sistem.
Inilah
sebuah gambaran pemikiran Descartes pada masa kini. Dalam uraiannya
Meditations
on First Philosophy,
ia mau mengajak untuk berpikir kembali mengenai pengetahuan yang ada.
Tentunya orang perlu memberikan pemikiran yang jelas dan dapat
dibedakan dengan yang lain. Ketika sebuah pemikiran masuk dalam
sebuah sistem, dan pemikiran itu menyesatkan, sistem itu akan
berbahaya dalam kelangsungan hidup bersama. Dalam Meditations
on First Philosophy, orang
diajak untuk bertanya atau dalam bahasa Descartes meragukan
keyakinan-keyakinan yang ada untuk mendapatkan keyakinan yang kokoh
dan mendapatkan kebenaran-kebenaran baru.
Meditasi
Pertama
Pemikiran
orang pada umumnya tidak ingin keraguan ada dalam hidupnya. Orang
menginginkan kepastian dalam hidupnya. Ketika orang menjadi ragu,
pandangan hidupnyapun menjadi kabur. Oleh karena itu, orang
menghindar dari keraguan dan mencari sebuah kepastian dalam hidupnya.
Pengertian
keraguan dalam Descartes berbeda dengan pengertian orang masa kini.
Keraguan adalah sebuah kegiatan bertanya mengenai pelbagai keyakinan
yang ada. Semua keyakinan yang ia miliki diragukan oleh Descartes.
Keraguan yang dimiliki Descartes adalah keraguan secara metodologis
untuk mencapai pengetahuan yang sejati. Descartes merasa bahwa
keyakinan yang ia miliki sekarang telah menipunya. Ada setan kecil
yang sedang mempermainkannya, kata Descartes. Jadi pengertian
keraguan Descartes berbeda dengan pengertian kita saat ini.
Dalam
Meditasi Pertama,
Descates
melihat bahwa keyakinan yang ia bangun selama ini didasarkan
keyakinan yang palsu. Artinya, keyakinan itu bukanlah kebenaran yang
sebenarnya. Ia ingin membangun keyakinan yang kokoh dan permanen dari
semua keyakinan yang ada. Untuk mewujudkan tujuannya itu, ia
membongkar semua keyakinan yang ia telah bangun tersebut. Ia
mempertanyakan setiap keyakinan yang ia miliki.
Descartes
termasuk orang yang sangat mencintai matematika. Karena kecintaannya
akan matematika membuat pemikirannya menjadi metodis dan sistematis.
Metode matematika bisa menjernihkan kebingungan dan kepastian
filsafat. Ia melihat semua keyakinan itu secara terperinci dan jelas.
Hal ini yang ia lakukan ketika membongkar semua keyakinan yang ada.
Keyakinan itu dilihat satu per satu dengan teliti dan saksama. Ia
membedakan, mengelaskan, dan mengelompokan kayakinan yang ia miliki.
Ia ingin mengetahui apakah ada satu keyakinan yang tidak bisa
diragukan dengan memenuhi tiga syarat. Keyakinan itu akan dianggap
kokoh dan permanen jika memenuhi tiga syarat berikut :
- Kepastian haruslah semacam kemustahilan untuk diragukan, bisa dibuktikan sendiri melalui akal, jelas dan berbeda.
- Kepastian haruslah yang akhir dan tidak bergantung pada kepastian dari keyakinan yang lain.
- Kepastian haruslah mengenai sesuatu yang ada (sehingga keyakinan atas keberadaan benda lainnya bisa disimpulkan)1
Keraguan pertama
Descartes adalah panca indra. Salah satu pengalaman yang membuat ia
sampai pada pemikiran demikian adalah ketika melihat bayangan pencil
yang berlekuk-lekuk di permukaan air. Padahal, dalam kenyataannya
pencil tidak berlekuk-lekuk seperti yang ada dipermukaan air. Ketika
melihat demikian, Descartes meragukan persepsi panca indra. Persepsi
panca indra tidak bisa dijadikan sumber kebenaran.
Dalam Meditasi
Pertama, Descartes menceritakan pengalamannya ketika ia di depan
perapian. Aku tidak bisa meragukan apa yang dikatakan oleh indraku
bahwa, aku disini, duduk disamping perapian, mengenakan jubah......
dan bahwa tangan dan tubuh ini milikku? Sebelumnya bukankah aku tak
pernah bermimpi sedang duduk disini? (mungkin ia pernah memimpikan
hal yang serupa karena ia suka tidur) Tidakkah aku sedang bermimpi
sekarang? Apa yang dipersepsikan indra bisa saja merupakan penipuan
dari mimpi.
Pengalaman ini
merupakan keraguan tingkat pertama. Dalam melihat semua keyakinan
yang ada Descartes telah mengelaskan dan mengelompokkan dalam
berbagai tingkatan dimulai dari yang sederhana. Pada tingkat kedua ia
meragukan keyakinan atas benda material. Ia bertanya, bagaimana
dengan keyakinan atas benda material atau keyakinan bahwa alam fisik
itu ada ? Hal ini pasti diragukan karena keyakinan ini didasarkan
pada persepsi indra, yang terbukti menipu sehingga kurang pasti.
Pada tingkat ketiga
ia mulai mempertanyakan mengenai ilmu alam. Apakah ada keyakinan
dalam ilmu alam? Keyakinan itu pasti diragukan karena didasarkan pada
objek yang dikenal oleh persepsi indra yang kemudian ditetapkan
sebagai hal yang tidak bisa dipercaya.
Pada titik terakhir
ia mulai meragukan mengenai metematis. Baginya matematika sudah
mempunyai dalil yang patut mendapatkan keyakinan tapi ia masih
meragukan dalil dalam matematika. Matematika mempunyai dalil yang
pasti bahwa dua ditambah tiga sama dengan lima dan persegi mempunyai
empat sisi. Hal ini merupakan hal yang sudah jelas dan tidak untuk
dipertanyakan lagi. Meskipun demikian, Descartes tetap meragukan
dalil matematika ini. Bisa saja ahli matematika bisa salah dalam
membuat dalil matematika ini.
Matematika memang
mempunyai dalil yang pasti tapi Descartes tetap meragukannya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah ia tetap mempertahankan
keyakinan akan keraguan itu? Bisakah suatu keyakinan mempertahankan
keraguan atas segala keyakinan karena mungkin saya tertipu oleh iblis
jahat dalam semua keyakinan yang kuanggap pasti secara absolut?
Melalui pertanyaan ini ia menyatakan, jika aku tertipu oleh semua
keyakinanku, aku harus tetap ada untuk ditipu. Jika aku meragukan
semua hal yang aku yakini termasuk matematika, ada satu keyakinan
yang tidak bisa diragukan: tiap kali aku ragu, aku harus tetap ragu.
Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan lainnya, aku tidak bisa
meragukan kayakinan bahwa aku ragu, karena aku ada. Bahkan jika
segala keyakinan yang kuketahui keliru, satu keyakinan yang tetap
benar, pada saat apapun, dimana aku melakukan aktifitas pemikiran
atau tindakan mental apapun seperti melakukan marasa ragu atau
berkeinginan, aku berada dalam keadaan memikirkan sesuatu. Aku
berpikir maka aku ada, Cogito
Ergo Sum.
Pemikiran bagi
Descartes meliputi berbagai tindakan kesadaran yang segera membuat
kita menjadi paham. Pemikiran itu meliputi peraguan, pemahaman,
pembenaran, negasi, kemauan, penolakan, dan perasaan. Aktifitas itu
hanya dapat dilakukan jika aku ada. Keberadaanku tidak bisa
dipisahkan dari aktifitas berpikir. Mustahil bisa memisahkan
keberadaanku dan aktifitas berpikir.
Cogito
membuktikan
bahwa ia merupakan benda yang berpikir dan hanya sejauh aku sadar aku
berpikir. Cogito
akan
selalu benar jika aku memikirkannya demikian pula dengan jika aku
menyangkalnya.
Meditasi
Kedua
Perjelasan
dalam meditasi pertama sudah disinggung sedikit mengenai Cogito
Ergo Sum.
Aku berpikir, maka aku ada. Dalam meditasi kedua, Descartes akan
membimbing kita dengan sebuah pertanyaan baru yang sangat baru bagi
kebanyakan orang berpikir. Berpikir dengan jelas dan terpilah-pilah
(clara
et distincta).
Kita
sudah mengetahui bahwa segala sesuatu itu tidak pasti. Apa yang
menjadi persepsi indra merupakan hal yang semu. Kita juga sudah
mengetahui bahwa kebenaran yang terbukti adalah aku berpikir, maka
aku ada. Jika aku mau menyangkal atau menyetujui sesuatu tidak
mungkin terlepas dari aku ada. Aku ada mutlak harus ada. Tetapi,
dengan pernyataan itu muncul pertanyaan baru. Apakah aku ini?
Descartes
sangat berhati-hati dengan pertanyaan ini. Ia tidak mau terkecoh
dengan pertanyaan ini. Jika ia salah langkah maka ia akan terperosok
dalam pertanyaan yang rumit. Ia sendiri ingin menghindarinya. Maka,
ia memilih dan memilah dengan baik apa yang paling jelas dan rinci
terbukti (clara
et distincta).
Ia harus kembali kapada keyakinan “Aku” sebelum ia masuk dalam
alur pemikiran yang ia bangun saat ini.
Ia
mulai dengan pertanyaan, apakah aku? Ia memberi jawaban bahwa aku
adalah seorang manusia. Siapakah manusia? Untuk menjawab pertanyaan
ini, ia tidak ingin menjawab bahwa manusia adalah mahkluk yang
berakal. Alasan yang diberikan adalah bahwa ia tidak ingin dibawa
dalam pertanyaan yang rumit mengenai hal tersebut. Pertanyaan itu
berupa, apakah mahkluk yang berakal itu? Ia tidak mempunyai waktu
untuk berurusan dengan menjawab pertanyaan tersebut. Maka ia bertitik
tolak dengan pertanyaan “aku” yang dulu dengan pertanyaan yang
timbul dengan spontan dan wajar ketika ia berpikir mengenai manusia.
Manusia
menurut Descartes adalah mahkluk yang memiliki wajah, lengan,
mempunyai struktur mekanis seperti juga tampak dalam mayat, orang
mati. Setiap bagian tubuh mempunyai posisi dan tempatnya
masing-masing yang tepat dan pasti. Manusia yang bisa makan, bisa
bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain dan bisa mencerap kesan
melalui indra. Dengan pengamatan demikian, ia berkesimpulan bahwa
kegiatan ini disebabkan oleh jiwa. Tetapi apakah jiwa, ia tidak
memikirkannya.
Penjelasan
mengenai siapakah manusia dalam paragraf sebelumnya berujung pada
jawaban bahwa itu semua adalah bayangan semata. Pembahasan mengenai
pengindraan juga berujung pada jawaban bahwa itu adalah semu karena
pengindraan tidak terlepas dari tubuh. Dalam pembahasan mengenai
berpikir, itulah yang pasti karena aku ada tidak terlepas dari aku
berpikir. Jika demikian, aku yang berpikir akan berapa lama akan ada?
Aku ada selama aku berpikir dan sadar akan berpikir. Jika orang tidak
berpikir, keberadaannya akan berakhir. Saat ini muncul pertanyaan
baru, apakah itu sesuatu yang berpikir? Sesuatu yang berpikir adalah
suatu akal, suatu kemampuan untuk berpikir, suatu nalar atau rasio.
Jika demikian, apakah sesuatu yang berpikir tersebut itu berpikir ?
Untuk
menjawab persoalan diatas ia mencoba menjawab dengan menggunakan daya
khayal. Dalam proses daya khayal, orang memerlukan objek yang
berbentuk. Meskipun dengan menggunakan daya khayal, ia tidak
menemukan apapun yang pasti karena bentuk yang ada dalam khayal tidak
terjadi dalam kenyataan. Bentuk yang dihasilkan daya khayal sangat
banyak yang sebelumnya ia sendiri tidak diketahui. Dengan demikian,
ia telah melakukan kekeliruan. Apalagi dengan menggunakan kata
mengarang, ia telah melakukan kesalahan. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan hal badaniah adalah mimpi dan ilusi. Oleh karena
itu, ia harus menghindarkan akal dari hal demikian.
Descartes
melanjutkan pertanyaannya, apa itu sesuatu yang berpikir? Ia
menjawab, sesuatu yang bisa meragukan, mengerti, menyetujui, menolak,
mau, tidak mau, berkhayal dan berpikir. Lalu, apakah benar itu
milikku? Tetapi apakah demikian? Dengan mempertanyakan, apakah aku,
lebih mudah mengenai aku dengan persepsi indrawi daripada aku yang
saat ini aku pertanyakan. Aku yang meragukan, aku yang mengerti, dan
aku yang menolak tidak mungkin ada jika aku tidak ada. Aku harus ada
untuk meragukan, mengerti, dan menolak. Lalu bagaimana aku dapat
mengetahui diriku saat ini? Diriku yang mempunyai tangan, wajah,
hidung yang padahal hal tersebut dihasilkan dari hal badaniah. Suatu
hal yang benar-benar menipuku. Bagaimana aku tahu bahwa meragukan,
mengerti dan menolak adalah diriku? Hal ini aku dapatkan bukan karena
persepsi indraku dan daya khayalku melainkan daya nalar atau rasio
yang aku miliki. Aku berpikir. Jika demikian, apakah hanya daya nalar
yang dapat mengetahui hal ini? Descartes menjawab, tentu. Meskipun
demikian, ia meragukan dapat sampai pada kesimpulan ini bahwa daya
nalarlah yang dapat mengenal hal itu semua.
Pada
titik ini, daftar pertanyaan Descartes tidak pernah habisnya. Ia
ingin menerobos batas-batas kebenaran yang seharusnya menghalanginya.
Lalu ia melakukan percobaan dengan mengambil malam madu. Pada saat
itu, ia mengamati malam tersebut dengan baik. Malam itu memiliki bau
madu, rasanya manis, dapat berbunyi jika diketuk dan mempunyai
bentuk. Lalu beberapa saat kemudian, ia menyulut api untuk memanaskan
malam tersebut. Apa yang terjadi? Malam itu menjadi membesar, bau
madupun memudar dan bentuknyapun berubah. Apa artinya hal ini? Hal
ini menandakan bahwa malam itu mempunyai potensi untuk berubah. Malam
menyediakan diri yang lain setelah mengalami pemanasan. Yang menjadi
pertanyaan saat ini adalah apakah yang disebut malam itu karena bau
madu, bentuknya, rasa manisnya? Meskipun malam itu telah menyajikan
bentuk yang lain, malam itu tetap ada. Pertanyaan lain, bagaimana aku
dapat mengetahui hal itu semua? Bagaimana aku dapat mempercayai hal
itu? Aku tidak akan mengetahui bahwa malam itu mempunyai potensi
berubah jika aku tidak percaya akan potensi tersebut. Aku mengetahui
tersebut karena menilai malam tersebut. Aku tidak lagi melihat dari
luarnya saja (meleleh, memuai dan proses lainnya) tetapi melihat
lebih dalam apa yang terjadi pada malam itu.
Descartes
dan pengamatannya dengan malam memberi sebuah kesimpulan. Jika aku
melihat bahwa malam itu ada maka aku harus ada untuk menyetujui
keberadaannya. Jika aku berpersepsi bahwa malam itu mengalami
perubahan maka keberadaanku harus ada untuk menilai. Dengan demikian,
aku berpikir maka aku ada merupakan kesimpulan akhir dari Descartes
dalam mencari sebuah dasar pengetahuan.
Relevansi
Dalam
meditasi pertama dan kedua, kita sudah mengetahui bagaimana Descartes
meragukan semua keyakinan yang selama ini ia bangun. Keraguan yang
membawa orang pada sebuah pengetahuan yang lebih dalam. Seringkali
kita mudah percaya dengan semua keyakinan umum. Seolah-olah keyakinan
itu sudah jelas dan tidak perlu dipertanyaakan kembali. Sikap yang
demikian memungkinkan pengetahuan akan berhenti dan tidak mengalami
perubahan. Jika pengetahuan tidak dipikirkan kembali, maka
pengetahuan akan sebatas ingatan dan akan berhenti. Apakah
pengetahuan itu baik atau buruk, orang tidak lagi mengetahuinya.
Akhir-akhir
ini, kita dikejutkan dengan tindakan Ir. Basuki .T. Purnama, MM atau
Ahok dengan penggusuran prostitusi di Kalijodo. Tindakan Ahok ini
bukanlah tindakan yang kebanyakan orang pilih. Kebanyakan orang akan
memilih dengan mengikuti sistem yang sudah ada sehingga kenyamanan
tetap tercipta. Tetapi Ahok mempunyai pandangan yang baru dan baru
bagi banyak pemikir sebelumnya. Ia meragukan sistem yang selama ini
digunakan oleh pemerintah Jakarta. Ia melawan arus.
Tindakan
Ahok ini tidak luput dari protes. Dalam media masa, banyak orang
mencemooh dia karena tindakannya yang dapat dikatakan keras.
Kebanyakan orang mencemooh dia melalui meme-meme
yang
tersebar di Facebook,
baliho, papan iklan, dan lain sebagainya. Ia tidak takut mati untuk
menegakkan yang benar. Ia berani berjalan sendiri tanpa partai.
Ahok
mempertanyakan sistem pemerintah yang setelah sekian lama
berlangsung. Mengapa prostitusi Kalijodo tetap berdiri tegak di
Jakarta? Kenyataan dibalik protes tersebut adalah kebanyakan pejabat
pemerintahan Jakarta menggunakan tempat prostitusi tersebut untuk
memuaskan nafsu mereka. Inilah jawaban dibalik protes mereka. Mereka
melakukan protes karena kenyamanan mereka terganggu.
Kejadian
penggusuran Kalijodo membuat hidup Ahok tidak henti-hentinya mendapat
serangan. Meskipun demikian, ia menerima serangan tersebut dengan
pikiran tenang. Ia mempertanyakan, memikirkan dan menjawab serangan
mereka dengan baik. Serangan yang paling menggelikan Ahok adalah “
Lebih baik mempunyai pemimpin yang korupsi daripada pemimpin yang
suka mengganggu kehidupan semua orang. Jika pemimpin kami korupsi,
maka kami dapat menghidupi pesantren kami dengan uang korupsi”.
Kata-kata ini muncul di media masa dalam bentuk meme
di Facebook.
Pemimpin yang memiliki pola pokir demikian perlu dipertanyakan
kembali. Apakah ia mempunyai kayakinan yang kokoh akan sebuah
kebenaran? Apakah pemimpin demikian memiliki kebijaksanaan dalam
memimpin?
Ahokpun
juga mendapat serangan dari J.J. Rizal mengenai penanganan banjir di
Jakarta. J.J Rizal menganggap bahwa apa yang dilakukan Ahok selama
ini adalah salah. Ini merujuk pada temuan yang nyata dan fakta
dilapangan, bahwa banyak ditemukan kulit kabel yang menyumbat
gorong-gorong sehingga menyebabkan banjir. Bagi J. J Rizal yang sesat
pikir itu adalah sebuah kesalahan jika ingin menyalahkan kulit kabel
sebagai sumber banjir maupun genangan yang selalu mengenangi Jakarta
selama ini. Namun apapun itu, Jika sudah sesat pikir seharusnya kita
abaikan saja dan tak perlu kita hiraukan pernayataan dari J.J Rizal,
terlebih lagi J.J Rizal juga seolah kumat meriang-meriangnya setelah
penggusuran Kalijodo mendekati harinya.2
Pengetahuan
atau sebuah keyakinan yang tidak pernah dipertanyaakan akan mengalami
sesat pikir. Hal ini ditunjukan oleh J.J. Rizal dalam pemikirannya
mengenai penanganan banjir. Ahok yang kritis mau mempertanyakan
kembali dan berpikir ulang untuk membangun dasar pengetahuan dan
keyakinan yang palsu ini. Meski harus berhadapan dengan serangan yang
bertubi-tubi, ia tetap menegakkan kebenaran dalam menjalankan
kepemimpinannya.
Pemikiran
Descartes mengenai hal meragukan semua keyakinan akan baik digunakan
ditengah dunia yang hanyut dalam kenyamanan ini. Orang perlu belajar
untuk tidak menerima keyakinan begitu saja tanpa mempertanyakan
kembali keyakinan tersebut. Meragukan bukanlah alat untuk
menghancurkan melainkan membangun dasar pengetahuan atau keyakinan
yang kuat. Hal ini tampak nyata dalam hidup Ahok. Ia berani melawan
arus yang kurang baik. Ia mengetahui hal yang kurang baik karena ia
melihat bahwa sistem yang selama ini digunakan tidak menghasilkan
buah yang baik.
Aku
berpikir maka aku ada. Pemikiran Descartes ini mau menunjukkan
keberadaan. Jika orang tidak berpikir, ia menghilang dari
keberadaannya. Orang yang berpikir akan mengetahui dengan baik apa
saja yang ada di sekitarnya. Ketika orang sudah berselimutkan
kenyamanan, apakah orang akan melepaskan selimut itu. Descartes
mengajak semua orang untuk melepaskan semua penutup yang selama ini
menutupinya dengan membuka selubung itu sedang mempertanyakannya
kembali. Mungkin akan menimbulkan perlawanan tetapi itulah sebuah
konsekuensi. Dengan orang bertanya maka orang mau hidup dalam
keberadaannya dan mengakui keberadaannya. Ketika orang berpikir maka
orang menggunakan kemanusiaannya dengan baik.
Daftar
Pustaka
Ariew, Roger (ed).
Philosophical
Essays and Correspondence ,Rene Descartes.
Indianapolis : Hackett Publishing Company, Inc, 2000.
Lavine, T.Z.
Descartes,
Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern.
Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003.
Sumber
Internet
1
T.Z Lavine. Descartes, Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia
Modern. (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003).
hlm. 32
2
http://www.kompasiana.com/rickyvinandooo/ahok-pemberani-kalijodo-rata-dengan-tanah-semua-terdiam-dan-j-j-rizal-yang-jadi-meriang-meriang_56d40c39509373360b9f5dd0,
diunduh pada tanggal 7 April 2016, pada pkl
13.10
Komentar
Posting Komentar