LINGUSITIK DAN SEMIOLOGI1 MENURUT MONGIN-FERDINAND de SAUSSURE

LINGUSITIK DAN SEMIOLOGI1 MENURUT
MONGIN-FERDINAND de SAUSSURE
Oleh: Yosep Septiawan, S.Fil

  1. Riwayat Hidup Ferdinand de Sassure
Mongin-Ferdinand de Saussure dikenal sebagai peletak dasar strukturalisme dan linguistik modern. Dalam kalangan umum, tokoh ini tidak cukup dikenal. Saussure berusaha menjawab pertanyaan ontologis yang berhubungan dengan linguistik.Tokoh ini mulai dikenal karena buku yang tidak pernah ditulisnya karena buku ini ditulis oleh mahasiswanya sendiri. Buku itu dalam terjemahan bahasa inggris berjudul Course in General Linguistics-Ferdinand de Saussure.2 Buku itu berisikan rangkaian kuliah tentang linguistik.
Saussure juga berusaha menguraikan hakekat bahasa dan aspek-aspek dasar lainnya dari linguistik. Sausure mempersoalkan apa itu bahasa? Secara umum, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.3 Saussure sempat mengeluh kepada mahasiswanya mengenai linguistik saat itu yang tidak pernah berusaha menentukan hakekat objek yang ditelitinya. Oleh karena itu, Saussure mengemukakan masalah-masalah berikut untuk melihat linguistik dengan lebih serius yakni: perbedaan di antara langue, parole, dan langage; perbedaan di antara penyelidikan diakronis dan sinkronis; hakekat apa yang disebut tanda bahasa; perbedaan di antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa; dan perbedaan di antara valensi, isi, dan pengertian. Terminologi ini akan menjadi ciri khas Ferdinand dan sangat berpengaruh pada perkembangan lingiustik ke depan.

  1. Langue, Parole dan Langage
Dalam permasalahan sebelumnya, Saussure mengemukakan bahwa lingustik tidak sampai menemukan hakekat objek yang diselidikinya. Selama ini penyelidikan ilmiah yang dilakukan hanya berorientasi pada sisi historis. Penyelidikan yang menyoroti perubahan jangka pendek dan jangka panjang dalam sistem bunyi, gramatika, dan kosakata satu bahasa atau lebih; dan perkembangan bahasa dari satu masa ke masa yang lain, serta menyelidiki perkembangan satu bahasa dengan bahasa lain.4 Padahal penyelidikan ilmiah terhadap bahasa tidak harus dilakukan secara historis.
Ternyata pemikiran Saussure mengenai konsep bahasa dengan penyelidikan historis tidak bisa dilepaskan dari dirinya. Hal ini disebabkan pendidikan yang telah diterimanya sehingga ia tidak dapat menghidari pengertian mengenai konsep bahasa seperti itu. Dia sendiri belum mampu mempelajari bahasa secara cermat sampai ia terpengaruh oleh pemikiran Emile Durkheim. Pemikiran-pemikiran Emile Durkheim inilah yang nantinya mempengaruhi Saussure dalam penelitiannya mengenai bahasa.
Emile Durkheim merupakan tokoh sosiolog yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Emile Durkheim menyatakan bahwa masyarakat pantas diteliti secara ilmiah karena interaksi anggota-anggotanya yang menimbulkan adat istiadat, tradisi dan kaidah perilaku yang seluruhnya membentuk kumpulan data yang mandiri. Interaksi antar anggota yang menimbulkan adat istiadat, tradisi dan kaidah perilaku inilah yang disebut sebagai fenomena atau fakta sosial. Fakta sosial ini dapat diteliti sebagaimana ilmu biologi yang mempunyai objek penelitian seperti tubuh manusia sebab berada diluar individu. Ada beberapa contoh tentang fakta sosial, seperti aturan legal, beban moral, kesepakatan sosial 5 dan bahasa.
Sekalipun fakta sosial itu berada di dalam dan melalui budi manusia, fenomena itu ada di luar si individu dalam hal telah menungguinya pada waktu ia lahir dan ada terus setelah ia mati. Fenomena itu bukanlah ciptaan dari individu tetapi diterima olehnya sebagai bagian dari warisan budayanya. Fenomena itu terjadi bukan berasal dari kehendak individu melainkan berdasarkan interaksi antar anggota.
Pemikiran Durkheim yang demikian memberikan rangsangan kepada Saussare dalam menyelidiki bahasa. Saussure berpendapat bahwa bahasa dapat dianggap sebagai “benda” yang terlepas dari penuturnya. Jika bahasa dapat dianggap sebagai benda atau objek maka bahasa dapat diteliti sebagai objek penelitian. Bahasa yang kita terima sekarang bukanlah ciptaan individu. Bahasa merupakan warisan dari penutur lain yang mengajarkan kepada generasi penutur selanjutnya.
Bahasa sebagai fakta sosial itu meliputi suatu masyarakat dan akan menjadi kendala bagi penuturnya. Kendala ini sangat mencolok karena bahasa tidak memberikan pilihan lain kepada penutur untuk mempergunakannya untuk berkomunikasi. Kendala ini muncul karena orang mendapatkan bahasa itu melalui pendidikan yang dipaksakan. Bahasa itu dimengerti berupa daftar kata-kata yang ada dalam pikiran manusia. Jika manusia ingin mengungkapkan pikirannya maka orang mau tak mau harus menggunkan daftar kata-kata yang ada dalam pikirannya. Persoalan inilah yang juga dikerjakan oleh Saussare.
Meskipun bahasa sebagai fakta sosial, bahasa bukanlah bagian dari bidang sosiologi. Saussure melihat bahasa dari sisi psikologi sosial. Misalnya ketika orang menyerukan kata ” Ayo, belajar, Ayo kamu pasti bisa”. Kata pengulangan “Ayo” mempunyai makna yang berbeda satu dengan yang lain. Kata “Ayo” sendiri dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan oleh individu misalnya supaya temannya rajin belajar karena besok ujian atau ada rasa malu jika temannya mendapat nilai jelek. Inilah peristiwa-peristiwa yang ada di belakang penutur yang mengatakan “ayo” terhadap temannya.
Dalam Bahasa Prancis terdapat tiga kata yang mengandung pengertian bahasa, yang cukup berbeda. Kata-kata itu digunakan oleh Saussare untuk mengungkapkan aspek-aspek bahasa. Perbedaan itu memungkinkan Saussare menguraikan bahasa sebagai benda dan objek yang dapat diteliti secara ilmiah. Ketiga kata itu ialah parole, langagedan langue.

Parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang, apa yang diucapkan dan apa yang didengar oleh pihak penanggap ujaran. Parole lebih bersifatnya pribadi, dinamis, sosial, terjadi pada waktu, tempat dan suasana tertentu. Parole adalah suatu tindakan individu dari kemauan dan kecerdasan. Tindakan ini perlu dibedakan 1) kombinasi kode-kode bahasa yang digunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya; 2) mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan dia mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut.6 Oleh karena itu, parole lebih merujuk pada tindakan berbicara.7 Contoh sederhana parole ialah ketika orang pada saat acara Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 yang menyerukan “merdeka”. Ketika menyerukan “merdeka”, orang sambil mengingat keringat yang bercucuran, tombak untuk melawan penjajah dan semangat mereka untuk mendapatkan kemenangan. Dengan demikian, Parole mempunyai kandungan psikologis dan sosiologis.
Langage merupakan kemampuan bertutur yang ada pada setiap manusia normal karena keturunan-kemampuan kita untuk berbicara satu sama lain.8 Langage merujuk pada suatu fenomena umum dari bahasa, artinya langage memiliki segi individual dan segi sosial. Dengan demikian, langage tidaklah memenuhi syarat sebagai fakta sosial. Hal ini dikarenakan langage mengandung faktor-faktor individu yang berasal dari pribadi penutur.

Langue merupakan produk masyarakat dari langage dan suatu himpunan konvensi yang perlu, yang diterima oleh seluruh masyarakat untuk memungkinkan berfungsinya langage pada diri para individu. Dengan demikian, langue lebih mengacu pada sistem bahasa.
Salah satu langue yang kita kenal ialah Bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia, berdasarkan kesepakatan bersama (konvensional) dan menyetujui satu totalitas aturan dalam berbahasa dari setiap anggota masyarakat tersebut kita mengerti totalitas ini, karena kita mempunyai langue yang sama. Artinya sebagai orang Indonesia kita mempunyai langue bahasa Indonesia, dan jika kita mempelajari bahasa Manggarai maka langue kita bertambah, yaitu langue bahasa Manggarai. Satu contoh lain. Kita yang berbahasa bahasa indonesia, tahu bagaimana mengatakan dan mengucapkan bahasa Indonesia baik dan benar. Jika kita mendengar orang asing berkata demikian, “ Anjing mengejar besar kucing “. Apa yang ada dibenak kita? Kita pasti akan mengatakan bahwa kalimat itu tidak benar. Dalam pikiran, kita sudah mempunyai langue bahasa indonesia sehingga kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa langue itu lebih bersifat abstrak karena berada dalam pikiran manusia.
Saussure sadar bahwa objek penelitian yakni Langue bersifat abstrak. Tetapi hal ini tidak membuat Saussare menghentikan penelitiannya mengenai bahasa. Ia berpendapat bahwa dengan sudut pandang yang benar maka akan melahirkan objek penelitian dan objek penelitian perlu mendapatkan penyederhanaan sehingga dapat melihat dengan lebih rinci. Pandangan yang demikian memerlukan pertanggungjawaban sehingga ia memberikannya dengan membandingkan sifat-sifat parole dan langue sebagai berikut:
  1. Parole sebagai perbuatan bertutur selamanya bersifat perorangan, bervariasi, berubah-ubah, dan mengandung banyak hal baru.
  2. Parole terjadi dari pilihan perorangan yang tidak terhitung jumlahnya, banyak sekali pengucapan dan kombinasi-kombinasi baru.
  3. Parole bukanlah sesuatu yang kolektif, heterogen dan merupakan perilaku pribadi. Keheterogenan parole membuat ia sulit untuk diteliti
  4. Langue merupakan pola kolektif, dimiliki bersama oleh semua penutur.
  5. Langue berada dalam bentuk keseluruhan kesan yang tersimpan dalam otak setiap orang. Hal ini dapat diibaratkan dengan kamus bahasa dalam otak manusia.
  6. Langue merupakan produk sosial dari kemampuan bahasa dan sekaligus merupakan keseluruhan konvensi yang dipengaruhi oleh kelompok sosial yang memungkinkan mempergunakan kemampuan itu.
  7. Pada dasarnya langue merupakan benda pasif sedangkan parole merupakan benda aktif. Jika langue merupakan benda pasif maka hanya langue yang bisa diteliti. Objek dapat diteliti jika objek itu diam.
  8. Langue merupakan parangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penutur terdahulu.

  1. Perbedaan di antara Penyelidikan Sinkronis dan Diakronis
Penyelidikan bahasa secara umum dilakukan dengan penyelidikan historis. Penyelidikan ini dalam dunia linguistik disebut dengan penelitian Diakronis. Penyelidikan Diakronis ini berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang waktu dan bersifat historis dan komparatif. Salah satu contoh penyelidikannya ialah melihat perkembangan bahasa Jawa dari pada awalnya sampai sekarang. Pada awalnya, bahasa Jawa adalah bahasa Murda dalam perkembangan selanjutnya muncul bahasa Krama. Dalam bahasa Krama sendiri ada bahasa Ngoko. Pada penjelasan awal Saussure menyatakan bahwa dalam penyelidikan terhadap bahasa tidak harus dengan penyelidikan diakronis, yang hanya melihat sisi historisnya saja. Penyelidikan bahasa juga bisa menggunakan penyelidikan sinkronis.
Penyelidikan sikronis mengkaji bahasa pada masa yang terbatas. Penyelidikan sinkronis ini dapat dikatakan sebagai penyelidikan diskripsi sebab menyelidiki bahasa sebagaimana apa adanya bahasa pada masa tertentu. Penyelidikan ini bersifat mendatar dan horisontal. Salah satu analisis sinkronik yang tampak ialah struktur seperti hubungan antara imbuhan dan dasar, hubungan antar-bunyi, hubungan antar-bagian kalimat, dan lain sebagainya.9 Salah satu contoh yakni menyelidiki bahasa Jawa pada masa penjajahan Belanda dengan mengajukan salah satu pertanyaan apa itu bahasa murda atau krama atau ngoko?



  1. Hakekat Tanda Bahasa
Sejauh ini Saussure dalam penyelidikannya lebih memilih penyelidikan sinkronis. Menurut Saussure, penyelidikan bahasa tidak harus menggunakan penyelidikan secara historis dan komparatif. Dengan demikian, kita perlu mengkaji objek linguistik (langue) yang konkret dan integral. Karena langue itu khazanah tanda, objek linguistik yang konkret dan intergral ialah tanda bahasa. Menurut Whitney, tanda bahasa adalah pranata yang didasarkan pada konvensi sosial dan merupakan perangkat penggunaan yang berlaku dalam masyarakat dan merupakan perbendaharaan kata dan bentuk masing-masing adalah arbitrer dan konvensional. Menurut Saussure, dengan menekankan sifat institusional dan konvensional bahasa, Whitney telah menempatkan linguistik pada posisi yang tepat.
Berdasarkan pengertian tanda bahasa yang diberikan oleh Whitney, Saussure memperingatkan bahwa tanda bahasa bukan hanya berarti daftar kosa kata. Dalam pandangan Saussure, tanda bahasa menyatukan konsep dan citra akustis, bukan soal kata atau benda. Hal ini dapat dilihat dalam gambar berikut.






Contohnya adalah kata “buka” yang ada di depan pintu salah satu toko. Kata “buka” yang dibaca oleh salah satu orang pengunjung adalah sebuah tanda yang terdiri atas penanda, kata “buka” dan tertanda “konsep”, bahwa toko itu sedang buka. Sebuah tanda pasti ada penanda dan tertanda. Dengan demikian, tanda pasti mempunyai makna seperti halnya tidak mungkin tanda tidak mempunyai bentuk.
Penanda yang sama, kata “buka” mempunyai konsep yang berbeda jika berada dalam situasi yang berbeda misalnya ada suami mengatakan kata “buka” karena istrinya menutup pintu jalaran suaminya selingkuh. Kata buka sendiri mempunyai makna bahwa suami meminta pengampunan kepada istri dan ingin berkomunikasi dengannya. Melalui contoh ini dapat ditarik kesimpulan bahwa jika penanda dan petanda berada dalam situasi yang berbeda akan mempunyai makna yang berbeda pula. Dengan demikian, jika sebuah sebuah penanda berubah maka petandanyapun juga akan ikut berubah.
Inilah konsep umum mengenai model tanda Saussura. Sampai saat ini, model tanda ini lambat laun direduksi pada hal material saja. Dalam contoh diatas hal material itu ialah pintu dan Lift. Padahal bagi Saussure keduanya, penanda dan tertanda, murni merupakan bentuk psikologis.
Tanda linguistik bukanlah semata sebuah penghubung antara sebuah benda dengan nama, namun lebih ke arah penghubung sebuah konsep dan sebuah pola suara. Pola suara bukanlah sebuah ‘suara’, karena suara adalah sesuatu yang bersifat fisik. Pola suara adalah impresi (meninggalkan kesan yg dalam) psikologis dari pendengar sebuah suara, sesuatu yang ditangkap oleh indera. Pola suara ini bisa disebut sebagai unsur ‘material’ hanya apabila ia kemudian dianggap sebagai representasi (perwakilan) dari impresi inderawi kita. Dalam hal ini pola suara kemudian dapat dibedakan dari unsur asosiatif lain dalam ranah tanda linguistik, yang secara umum terdiri atas sesuatu yang lebih abstrak, yaitu konsep” 10 (terjemahan)

Menurut pandangan Saussura, tanda menyatukan citra akustis dan konsep. Citra akustis dan konsep ini tidak bisa dilepaskan begitu saja. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain seperti yang terjadi pada contoh diatas. Menurut Harimurti, citra akustis itu bersangkutan dengan ingatan atau kesan bunyi yang dapat didengar dalam khayal (psikis-sosial), bukan ujaran yang diucapkan. Manfaat konsep citra akustis tersebut ialah bahwa komponennya jelas batasannya, sedangkan bunyi yang diujarkan tidak demikian: citra akustis dapat digambarkan dengan tulisan secara cermat (seperti kata “buka” pada contoh diatas), sedangkan bunyi tidak. Kata Saussure citra bunyi tidak lebih daripada keseluruhan unsur atau fonem yang jumlahnya terbatas yang dapat diwujudkan dengan lambang tertulis yang jumlahnya sepadan. Bunyi-bunyi yang membentuk citra akustis disebut fonem, yaitu jangkauan perbedaan-perbedaan bunyi yang dimungkinkan oleh fonologi suatu bahasa.
Bagian lain dari citra akustis ialah konsep. Jika melihat contoh kata “buka” diatas, pengertian mengenai konsep lebih abstrak daripada citra akustis. Konsep lebih bersifat pembeda dan secara langsung bergantung pada citra akustis. Itulah mengapa citra akustis dan konsep tidak bisa dipisahkan begitu saja.
Tanda itu sendiri mempunyai dua jenis yakni tanda tunggal, yang tidak dapat dianalisis atas bagian yang lebih kecil, dan sintagma, yang terjadi dari dua bagian bermakna atau lebih. Tanda juga mempunyai sifat utama yakni arbitrer dan linier. Arbitrer artinya tidak ada aturan secara khusus, hanya kesepakatan, sebuah konvensi. Sebagian besar bentuk kata dalam bahasa muncul secara arbitrer. Misalnya kata anjing dalam bahasa Indonesia. Mengapa anjing diberi nama anjing bukan yang lain? Mengapa harus disebut anjing? Munculnya kata “anjing” merupakan kesepakatan bersama atau konvensi sosial. Dalam masyarakat lain kata “anjing” mungkin tidak ada. Misalnya masyarakat jawa menyebut anjing dengan “asu, kirek” dan masyarakat batak menyebut anjing dengan sebutan “biang”. Kearbitreran itu sendiri juga mempunyai keterbatasan. Dalam hal ini, Saussure menyebut kearbitreran nibsi. Sebuah kearbitreran yang menyangkut relasi intern yakni hubungan di antara penanda dan petanda serta relasi ekstern yakni hubungan di antara sesama tanda bahasa. Kearbitreran nipsi itu misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca- membaca- dibaca- terbaca-pem-bacaan. Kelinearan tanda bahasa ini nampak dalam hubungan sintagmatis.
Selain sifat arbitrer dan linear tanda bahasa, Saussure juga mengajukan dua sifat lain yang nampak berlawanan yakni sifat tak tertukarkan dan tertukarkan. Tanda bahasa dikatakan bersifat tak tertukarkan karena setiap generasi mewarisi bahasa dan tanda-tanda yang menjadi bagiannya, dan baik masyarakat maupun orang perorang bersikap pasif dalam menerimanya. Ada empat alasan mengapa tanda bahasa bersifat tak tertukarkan: 1) karena tanda bersifat arbitrer; 2) jumlah unsurnya tak terbatas dan menghalangi perubahan bahasa; 3) bahasa merupakan sistem yang sangat rumit; 4) bahasa adalah sistem sosial yang dipergunakan semua orang. Ketertukaran tanda bahasa juga tidak dapat ditolak. Sifat itu ada jika kita menggunakan sudut pandang yang lain yakni melihat sisi historis. Tanda bahasa bisa menimbulkan pergeseran hubungan di antara penanda dan petanda sebagai akhibat perubahan bunyi dan pergeseran analogi. Contohnya seperti kata “Inggeris” menjadi “Inggris” dalam bahasa Indonesia.

  1. Hubungan Asosiatif dan hubungan Sintagmatis
Hubungan-hubungan asosiatif atau paradigmatis merupakan setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satuan bahasa lain karena satuan itu serupa atau berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna. Secara sederhana, hubungan asosiatif dapat dimengerti segala sesuatu yang ada dalam bahasa didasarkan pada relasi-relasi. Kata-kata yang mempunyai kesamaan tertentu saling berasosiasi di dalam memori, di dalam benak, sebagai bagian dari gudang batiniah yang membentuk bahasa masing-masing penutur.11 Hubungan ini disebut hubungan in absentia, karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran.
Ada beberapa hubungan paradigmatik, yaitu : a) Hubungan paradigmatik pada tataran fonologi b) Hubungan paradigmatik pada tataran morfologi c) Hubungan paradigmatik pada tataran sintaksis.
Kami akan mengambil contoh dari hubungan paradigmatik pada tataran morfologi. Hubungan paradigmatik pada tataran morfologi yaitu tampak pada prefiks-prefiks dalam sebuah kata. Contoh : antara prefiks me-, di-, pe-, dan te- yang terdapat pada kata-kata merusak, dirusak, perusak, dan terusak. Maksudnya kata tersebut akan berubah dengan hanya merubah prefiknya saja misal merawat kita ganti prefiknya dengan yang baru misal prefiks perusak, maka akan terjadi perubahan makna. Nah, antara prefiks me yang kemudian diganti pe (me ke pe inilah disebut hubungan paradigmatik).
Hubungan-hubungan sintagmatis adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan ini disebut hubungan in praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama dalam wicara. Menurut Saussure, bentuk-bentuk bahasa dapat diuraikan secara cermat dengan meneliti hubungan asosiatif (atau paradigmatis) dan hubungan sintagmatis itu.
Ada beberapa hubungan sintagmatis salah satunya yaitu hubungan sintagmatis pada tataran fonologi. Hubungan sintagmatik pada tataran fonologi tampak pada urutan fonem-fonem pada sebuah kata yang tidak dapat diubah tanpa merusak makna kata itu.
Contoh : kata sapi
Apabila urutan hurufnya diubah, maka maknanya akan berubah, atau tidak bermakna sama sekali. Dalam hal ini antara huruf S kemudian ke A, P lalu ke I tidak boleh dipisah jika dipisah makna kata “Sapi” akan berubah. Maka hubungan antara S kemudian ke A, P lalu ke I (SAPI) itu disebut hubungan sintagmatik.
  
  1. Perbedaan di antara Valensi, Isi, dan Pengertian
Langue dipandang oleh Saussure sebagai perangkat hubungan di antara tanda bahasa yang stabi. Dalam penjelasan di atas, ada dua jenis hubungan yakni hubungan paradigmatis dan hubungan sintagmatis. Melalui hubungan itulah tanda bahasa dapat diuraikan dan hasilnya ialah pemerian atau penjelasan tentang valensi.
Pandangan Saussure dapat kita pahami dengan menerima kenyataan bahwa tanda bahasa itu penting. Tanda bahasa bukan peristiwa bunyi tetapi juga mewakili unsur-unsur di luar bahasa. Misalnya kata “ kampung halaman” maka kita akan mengingat semua hal yang ada di kampung halaman termasuk rumah, ladang, peristiwa-peristiwa dan sebagainya. Contoh lain ketika kita mendengar dosen yang sedang mengajar. Pertama-tama kita akan mengenal dengan mendengarkan, namun ucapan dosen jarang kita perhatikan. Yang kita perhatikan ialah gagasan dan situasi yang menarik perhatian kita melalui ujaran dosen. Orang mendengar apa yang ingin ia dengar. Dengan kata lain, ciri utama tanda bahsa tidak dapat dicari pada wicara (rangkaian bunyi bahasa yg dipergunakan untuk berkomunikasi) tetapi dalam hubungannya dengan unsur-unsur luar bahasa, melalui sejenis konvensi sosial.
Sebelum membahas mengenai konsep valensi, kita perlu memahami identitas linguistis, realitas linguistis dan valensi linguistis. Identitas linguistis berkaitan dengan kembali unsur bahasa yang sama. Contoh yang diberikan oleh Harimurti ialah mengenai bagaimana menandai kereta api jam 8.15 dari Zurich ke Jenewa pada hari-hari yang berlainan. Apa yang membuat kerata api itu sama ? kereta api itu sama bukan karena ditarik oleh lokomotif listrik, bukan pula gerbongnya melainkan kenyataan bahwa kereta api itu berangkat jam 8.15 dan berjalan dari Zurich ke Jenewa.
Untuk menjelaskan mengenai relaitas linguistis, kita akan mengambil contoh dari permainan catur. Apa nilai dari permainan catur? Nilai sebuah catur bukan pada buah catur dan papan catur melainkan pada hubungan buah catur yang satu dengan buah catur yang lain dan gerak yang dibuatnya. Jika nilai sebuah catur bukan pada buah catur dan papan catur itu sendiri maka buah catur itu sendiri dapat diganti dengan sesuatu yang lain seperti tutup botol atau lainnya. Dengan demikian, realitas dari permainan catur itu ialah hubungan buah catur yang satu dengan buah catur yang lain dan gerak yang dibuatnya.
Setelah membahas mengenai identitas linguistis dan realitas linguistis, kita akan membahas mengenai valensi linguistis. Valensi linguistis mencangkup konsep (realitas linguistis) dan material (identitas linguistis). Untuk lebih mudah memahami hal ini, simak contoh berikut. Jika kita ingin menayakan sesuatu (konsep) pada sesi pertayaan sebuah seminar, tidak mungkin kita melepaskan kata-kata baik tulisan maupun lisan (material). Pastinya kita akan menggunakan hal material tersebut agar pemateri dapat mengerti apa yang ditanyakan. Jika tidak melalui hal material tersebut, pertanyaan itu bersifat abstrak. Oleh karena itu, untuk memahami valensi linguistis tidak bisa dilepaskan peranan konsep dan material serta hubungannya tersebut.
Ada tiga istilah kunci yang digunakan Saussure untuk menggarap sisi konseptual dari valensi yakni valensi, isi, dan pengertian.
Isi atau dalam bahasa Perancis contenu dari suatu sistem mencakup pengertian dan valensi. Pengertian, atau dalam bahasa Perancis signification adalah asosiasi suatu bunyi dengan suatu konsep, jadi pada dasarnya sama dengan makna referensial dalam semantik. Makna referensial merupakan makna unsur bahasa yg sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar bahasa (objek atau gagasan), dan dapat dijelaskan oleh analisis komponen. Makna referensial dapat juga berarti makna denotasi.12 Valensi dari suatu unsur bahasa ditentukan dengan menyelidiki unsur lain dalam sistem bahasa karena unsur-unsur itu beroposisi baik secara paradigmatis maupun secara sintagmatis.
Konsep valensi ini dipergunakan bukan hanya untuk menyelidiki aspek konseptual dari bahasa, melainkan juga aspek material atau fonetiknya. Bagi Saussure bahasa adalah forma atau bentuk dan bukan substansi yang identik dengan aspek material dari bahasa.
Demikian secara singkat pandangan Saussure tentang hakekat bahasa dan linguistik.

  1. Perkembangan Linguistik Saussure
Pemikiran Saussure mengenai linguistik memberikan dampak yang baik untuk perkembangan linguistik zaman sekarang. Meskipun demikian, pandangan Saussure ini juga tidak luput dari banyak kritik dan pertentangan dari ahli linguistik. Kritik pertama ialah mengenai langue-parole. Saussure mengatakan bahwa objek penelitian dalam linguistik ialah langue. Tetapi dalam perjalanan waktu, ternyata parole pun juga patut diteliti.
Kedua mengenai sinkronik dan diakroni. Saussure mendapat kritik bahwa dalam penyelidikan bahasa tidak bisa memisahkan sisi historis bahasa. Sisi historis bahasa sangat berpengaruh dalam perkembangan bahasa. Keduanya harus berjalan beriringan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Ketiga mengenai forma-substasi. Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah forma bukan substasi. Pendapat ini ditentang oleh Kenneth L. Pike yang mengatakan bahwa bahasa bukan hanya sistem relasi atau forma melainkan juga sistem satuan atau substansi.
Keempat mengenai kearbitreran tanda bahasa. Pendangan kearbitreran Saussure ini menui keragu-raguan dari banyak pihak.
Meskipun pandangan Saussure menuai banyak kritik tetapi ia telah meletakkan dasar pemikiran yang baik untuk perkembangan linguistik ke depan. Ada beberapa pandangannya yang sampai saat ini juga dikembangkan dengan baik oleh pengikutnya antara lain mengenai paradigmatik-sintagmatik, kelinearan bahasa, valensi-isi-pengertian dan dasar-dasar filosofis.

DAFTAR PUSTAKA


Sumber Utama
Kridalaksana, Harimurti. Mongin-Ferdinand de Saussure: Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005.
de Saussure, Ferdinand. Course in General Linguistics. London : McGraw-Hill Book Company. 1915.
de Saussure, Ferdinand. Pengantar Linguistik Umum. Terj. Rahayu S. Hidayat. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press. 1988.

Sumber Penunjang
Ahmad Hidayat, Asep. Filsafat Bahasa: Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006.
Budiman, Kris. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS. 1999.
Chrystal, David. Ensiklopedi Bahasa: The Cambridge Encyclopedia of Language. Bandung: Nuasa Cendekia. 2015.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008
Parnuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.1996.

Sumber Internet
Bahasa Sebagai Fakta Sosial _ Sabda Usang.Htm di ambil hari Minggu, 29 Januari 2017 pukul 11.30






1 Saussure lebih suka menggunakan Semiologi daripada semiotika. Semiologi lebih berujuk pada ritus, tradisi, kode komunikasi dan segala macam langage. Bdk. Ferdinand de Saussure. Pengantar Linguistik Umum. Terj. Rahayu S. Hidayat. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press. 1988. hlm. 41
2 de Saussure, Ferdinand. Course in General Linguistics. London : McGraw-Hill Book Company. 1915. hlm. 1
3 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 2008
4 Ibid.
5 Bahasa Sebagai Fakta Sosial _ Sabda Usang.Htm di ambil hari Minggu, 29 Januari 2017 pukul 11.30
6 Ferdinand de Saussure. Pengantar Linguistik Umum. Terj. Rahayu S. Hidayat. Yogayakarta: Gadjah Mada University Press. 1988.
7 Chrystal, David. Ensiklopedi Bahasa: The Cambridge Encyclopedia of Language. Bandung: Nuasa Cendekia. 2015. hlm. 353
8 Ibid.
9 Bahasa Sebagai Fakta Sosial _ Sabda Usang.Htm
10 de Saussure, Ferdinand. Course in General Linguistics. London : McGraw-Hill Book Company. 1915. hlm. 66
11 Budiman, Kris. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS. 1999. hlm. 7

12 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 2008

Komentar

  1. The King Casino Hotel | Jamul Casino & Spa
    The King Casino Hotel is set 1 mile south of Jamul Casino, goyangfc 1 MPRC Blvd, https://jancasino.com/review/merit-casino/ Jamul, Georgia. View map. This 출장마사지 casino offers a variety herzamanindir.com/ of https://septcasino.com/review/merit-casino/ gaming options including slots,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENATA DIRI DEMI HIDUP PANGGILAN

“Etika dalam Hidup Komunitas”